Selamat Datang Di Laboratorium Akuntansi dan Keuangan IKOPIN

............................................................................

Selamat Datang Di Laboratorium Akuntansi dan Keuangan IKOPIN

............................................................................

Selamat Datang Di Laboratorium Akuntansi dan Keuangan IKOPIN

............................................................................

Selamat Datang Di Laboratorium Akuntansi dan Keuangan IKOPIN

............................................................................

Selamat Datang Di Laboratorium Akuntansi dan Keuangan IKOPIN

............................................................................

Rabu, 02 Juli 2025

NILAI AKHIR PRAKTIKUM SEMESTER GENAP 2025

 Hallo balance people👋


Gimana nih kabarnya? semoga baik-baik aja yaaa...


Balance people pasti udah gasabar kan pengen tau nilai akhir yang balance people dapet di lab, yu langsung aja cek nilai semester genap kalian dan semoga hasilnya memuaskan yaa😉


Nilai Akhir Akuntansi Biaya 1

Nilai Akhir Akuntansi Biaya 1 ( Ngulang )

Nilai Akhir Akuntansi Biaya 2

Nilai Akhir Akuntansi Keuangan 1

Nilai Akhir Akuntansi Keuangan 2

Nilai Akhir Komputerisasi Akuntansi 

Nilai Akhir Akuntansi Koperasi 

Nilai Akhir Akuntansi Koperasi (Ngulang)

Nilai Akhir Pengantar Akuntansi 2

Nilai Akhir Pengantar Akuntansi 2 (Ngulang)


Besar atau kecil nilai yang balance people dapat itu merupakan hasil dan usaha balance people sendiri ya, jangan lupa apresiasikan usaha yang telah balance people berikan. Semoga balance people dapat terus mempertahankan dan meningkatkan nilai praktikumnya yaaa💫


Semangattttttt terus balance people dan selamat menjalani ujian akhir semesternya ya👋😊

Share:

Minggu, 29 Juni 2025

BANK SOAL UAP GENAP 2025

 Hallo Balance People gimana nih kabarnya? semoga tetap sehat selalu dan bahagia yaa


Ada kabar baik nih, bagi balance people yang ingin belajar kembali soal-soal UAP Genap 2025,


balance people bisa download Disini

Share:

Sabtu, 14 Juni 2025

BALANCE FACT: UTANG JANGKA PENDEK YANG SUDAH PASTI


 UTANG JANGKA PENDEK YANG SUDAH PASTI

Utang jangka pendek dikatakan sudah pasti bila memenuhi dua syarat:

1. Kewajiban untuk membayar sudah pasti, artinya sudah terjadi transaksi yang menimbulkan kewajiban membayar.

2. Jumlah yang harus dibayar sudah pasti.

Utang-utang yang memenuhi dua syarat di atas terdiri dari berbagai jenis utang sebagai berikut:

• Utang dagang dan utang wesel.

• Utang jangka panjang yang jatuh tempo dalam periode itu.

• Utang dividen.

• Uang muka dan jaminan yang dapat diminta kembali.

• Dana yang dikumpulkan untuk pihak ketiga.

• Utang biaya (biaya yang masih akan dibayar).

• Pendapatan diterima di muka.

Masing-masing jenis utang di atas akan dibicarakan dalam uraian berikut:

a. Utang Dagang dan Utang Wesel:

Biasanya, kalau perusahaan membeli barang atau jasa, atau dapat pinjaman jangka pendek, itu bisa menimbulkan utang. Dua jenis utang yang umum adalah:

• Utang Dagang: Ini seperti "bon" atau tagihan yang muncul karena perusahaan membeli barang atau jasa dari pemasok. Misalnya, perusahaan membeli bahan baku, nah tagihan dari penjual bahan baku itu namanya utang dagang.

• Utang Wesel: Ini juga utang, tapi biasanya ada surat resminya (wesel). Wesel ini bisa dipakai saat membeli barang atau jasa, dapat pinjaman dari bank dalam jangka pendek, atau bahkan ke karyawan, pemegang saham, atau saat membeli mesin atau peralatan. Utang wesel ini bisa dijamin (ada aset sebagai jaminan) atau tanpa jaminan.

Pentingnya Memperhatikan Barang yang Masih di Jalan:

Saat menghitung total utang jangka pendek perusahaan, kita juga perlu ingat soal barang-barang yang sudah dibeli tapi masih dalam perjalanan. Kapan utang atas barang ini dicatat tergantung pada aturan pengirimannya. Jadi, kita harus tahu nih, siapa yang bertanggung jawab saat barang masih di jalan, apakah pembeli atau penjual. Ini penting biar catatan utang kita akurat.

Sederhananya, utang dagang itu seperti utang biasa ke pemasok, sedangkan utang wesel itu utang yang lebih formal karena ada surat weselnya. Jangan lupa juga perhitungkan barang yang masih dalam perjalanan saat menghitung total utang jangka pendek.

b. Utang Jangka Panjang yang Sudah Dekat Jatuh Temponya

Bayangkan perusahaan punya utang yang harus dibayar dalam waktu lebih dari satu tahun (utang jangka panjang), contohnya utang obligasi. Nah, kalau sisa waktu pembayarannya tinggal kurang dari setahun, utang ini jadi "utang jangka pendek" di laporan keuangan. Tapi, ada pengecualian yang diantaranya:

• Kalau cuma sebagian yang jatuh tempo: Hanya bagian utang yang harus dibayar tahun ini saja yang dianggap utang jangka pendek. Sisanya yang masih lama tetap jadi utang jangka panjang.

• Kalau ada rencana khusus untuk bayar: Meskipun jatuh temponya kurang dari setahun lagi, utang jangka panjang itu tetap dianggap jangka panjang kalau perusahaan punya rencana jelas untuk melunasinya bukan dari uang kas biasa atau tidak menimbulkan utang jangka pendek baru. Contohnya, perusahaan berencana melunasinya dengan dana khusus yang sudah disiapkan, atau dengan menerbitkan obligasi baru, atau bahkan menukarnya dengan saham perusahaan. Intinya, pelunasannya tidak mengganggu keuangan lancar perusahaan. Jadi, intinya: Utang jangka panjang yang sudah dekat jatuh tempo biasanya jadi utang jangka pendek, kecuali kalau perusahaan punya cara khusus untuk membayarnya tanpa pakai uang kas biasa atau menambah utang jangka pendek baru.

c. Utang Dividen (Pembagian Keuntungan ke Pemegang Saham)

Kalau perusahaan memutuskan untuk membagikan sebagian keuntungannya (dividen) ke pemegang saham dalam bentuk uang tunai atau aset lain, dan belum dibayar, ini akan jadi "utang dividen". Karena harus segera dibayar, utang dividen ini termasuk utang jangka pendek.

• Kapan utang ini muncul ? Utang dividen muncul saat direksi perusahaan mengumumkan pembagian dividen. Utang ini terus ada sampai dividennya dibayarkan.

• Dividen saham prioritas: Meskipun jumlah dividen untuk pemegang saham prioritas biasanya sudah pasti, itu belum dianggap utang sampai ada pengumuman resmi dari perusahaan.

• Dividen skrip: Kalau perusahaan mengeluarkan surat utang jangka pendek (skrip dividen) sebagai pengganti dividen tunai dan skrip ini akan segera dilunasi, maka ini juga termasuk utang jangka pendek.

• Dividen saham (bukan utang): Kalau perusahaan membagikan dividen dalam bentuk saham baru, ini bukan dianggap utang jangka pendek, tapi masuk ke dalam bagian modal perusahaan. Jadi, perusahaan tidak punya kewajiban untuk membayar kembali saham tersebut.Singkatnya: Utang dividen adalah kewajiban perusahaan untuk membayar dividen tunai atau aset yang sudah diumumkan dan harus segera dibayar, sehingga termasuk utang jangka pendek. Dividen dalam bentuk saham beda lagi, itu menambah modal, bukan utang.

d. Uang Muka dan Jaminan yang Bisa Diminta Kembali

• Uang Muka dari Pembeli: Kalau ada pembeli yang sudah bayar duluan untuk barang yang belum mereka terima, uang muka ini jadi "utang jangka pendek" bagi perusahaan penjual. Kenapa? Karena perusahaan punya kewajiban untuk mengirimkan barangnya atau mengembalikan uangnya kalau barang tidak jadi dikirim.

• Jaminan dari Pelanggan: Terkadang, perusahaan meminta jaminan (uang titipan) dari pelanggan. Kalau jaminan ini bisa ditarik kembali kapan saja oleh pelanggan, maka ini juga termasuk "utang jangka pendek". Perusahaan punya kewajiban untuk mengembalikan uang jaminan itu kalau diminta.

• Jaminan Jangka Panjang: Tapi, kalau jaminan itu memang akan disimpan perusahaan dalam waktu yang lama, barulah jaminan ini dikategorikan sebagai "utang jangka panjang".Intinya: Uang muka dari pembeli dan jaminan yang bisa ditarik kembali oleh pelanggan dianggap utang jangka pendek karena perusahaan punya kewajiban segera untuk menyerahkan barang atau mengembalikan uang tersebut. Kalau jaminannya untuk waktu yang lama, baru jadi utang jangka panjang.

e. Dana Titipan untuk Orang Lain

Terkadang, perusahaan bertindak seperti "bendahara" sementara. Mereka mengumpulkan uang dari pelanggan atau karyawan, tapi uang ini sebenarnya bukan milik perusahaan. Nantinya, uang ini akan diserahkan ke pihak lain.

• Cara Pengumpulannya: Perusahaan bisa memotong gaji karyawan untuk iuran tertentu atau menambahkan biaya tertentu saat pelanggan membeli sesuatu.

• Contoh: Misalnya, perusahaan memotong gaji karyawan untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan, lalu uangnya disetorkan ke BPJS. Atau, toko mengenakan biaya parkir ke pembeli, lalu uang parkirnya diserahkan ke pengelola parkir.

• Statusnya sebagai Utang: Karena uang ini bukan hak perusahaan dan harus diserahkan ke pihak lain, maka ini dianggap sebagai "utang jangka pendek". Perusahaan punya kewajiban untuk menyalurkan dana tersebut.

Singkatnya: Kalau perusahaan mengumpulkan uang titipan dari pelanggan atau karyawan untuk diserahkan ke pihak lain, uang ini jadi utang jangka pendek perusahaan.

f. Utang Biaya (Biaya yang Sudah Terjadi Tapi Belum Dibayar)

Ini adalah biaya-biaya yang sebenarnya sudah menjadi "beban" perusahaan karena sudah terjadi, tapi pembayarannya belum dilakukan. Jadi, perusahaan punya utang atas biaya-biaya ini.

• Contoh:

- Gaji dan upah karyawan yang sudah bekerja di bulan ini tapi belum dibayar sampai akhir bulan.

- Bonus yang sudah dihitung tapi belum dibayarkan ke karyawan.

- Biaya sewa gedung untuk bulan ini yang belum jatuh tempo pembayarannya.

- Tagihan listrik atau air yang sudah dipakai tapi belum dibayar.

• Kenapa Jadi Utang Jangka Pendek? Karena biaya-biaya ini biasanya akan segera dibayarkan dalam waktu dekat (kurang dari satu tahun).

Intinya: Utang biaya adalah kewajiban perusahaan untuk membayar biaya-biaya yang sudah terjadi tapi belum sempat dibayar, dan ini termasuk utang jangka pendek karena pembayarannya biasanya segera dilakukan.

g. Pendapatan yang Diterima Duluan

Ini terjadi kalau perusahaan menerima pembayaran dari pelanggan untuk barang atau jasa yang belum diserahkan atau diberikan. Jadi, perusahaan sudah pegang uangnya, tapi belum sepenuhnya "mendapatkan" uang itu karena kewajibannya ke pelanggan belum selesai.

• Contoh:

- Pelanggan membayar di muka untuk berlangganan majalah selama setahun. Perusahaan sudah terima uangnya, tapi setiap bulan baru dianggap sebagai pendapatan sebagian seiring dengan pengiriman majalah. Sisa uang yang belum "jadi" pendapatan inilah yang disebut pendapatan diterima di muka.

- Pembeli membayar uang muka untuk pesanan mebel yang baru akan dibuat dan dikirim bulan depan. Uang muka ini adalah pendapatan diterima di muka bagi perusahaan mebel.

• Kenapa Jadi Utang Jangka Pendek? Karena perusahaan punya kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa kepada pelanggan di masa depan. Sampai kewajiban itu terpenuhi, uang yang diterima di muka ini dianggap sebagai utang jangka pendek.

Singkatnya: Pendapatan diterima di muka adalah uang yang sudah diterima perusahaan dari pelanggan untuk barang atau jasa yang belum diberikan. Ini dianggap utang jangka pendek karena perusahaan masih punya kewajiban ke pelanggan

Kesimpulan:

Utang jangka pendek adalah kewajiban perusahaan yang harus dibayar kurang dari setahun, dengan jumlah dan waktu pembayaran yang pasti karena transaksi sudah terjadi.

Jenis-jenisnya meliputi:

• Utang Dagang & Wesel: Tagihan ke pemasok dan utang bersurat.

• Utang Jangka Panjang Jatuh Tempo: Bagian utang jangka panjang yang segera dibayar (kecuali ada rencana pembayaran khusus).

• Utang Dividen: Pembagian keuntungan ke pemegang saham yang sudah diumumkan dan akan segera dibayar (dividen saham beda).

• Uang Muka & Jaminan: Pembayaran di muka dari pembeli dan titipan pelanggan yang bisa ditarik kembali.

• Dana Titipan: Uang yang dikumpulkan perusahaan untuk pihak lain.

• Utang Biaya: Biaya yang sudah terjadi tapi belum dibayar (gaji, sewa, dll.).

• Pendapatan Diterima di Muka: Pembayaran dari pelanggan untuk barang/jasa yang belum diberikan.

Semua jenis utang ini penting untuk dikelola perusahaan demi menjaga keuangan lancar dan memenuhi kewajiban tepat waktu.

Sumber:

Baridwan, Zaki. (2008). INTERMEDIATE ACCOUNTING. Yogyakarta: BPFE- YOGYAKARTA


Share:

Rabu, 14 Mei 2025

BALANCE FACT : HARGA POKOK PENJUALAN DALAM AKUNTASI PERPAJAKAN


HARGA POKOK PENJUALAN DALAM AKUNTASI PERPAJAKAN


A. Harga Pokok Penjualan

   Beban pokok usaha Harga Pokok Penjualan (HPP) diakui menggunakan pendekatan kausalitas, yaitu mengaitkan beban secara langsung dengan penghasilan. Oleh karena itu, HPP diakui pada saat persediaan itu dijual.

HPP dipengaruhi oleh system pencatatan dan penilaian persediaan. Menurut Weygant, Kimmel dan Kieso (2011: 202-203), ada dua system yang dikenal dengan pencatatan persediaan, yaitu sebagai berikut.

1. Sistem Periodik

Dalam system periodic, persediaan dan HPP tidak dapat diketahui sewaktu-waktu. Persediaan dihitung dengan melakukan perhitungan fisik (stock opname) pada setiap akhir periode. Hasil perhitungan tersebut dipakai untuk menghitung HPP.

2. Sistem Perpetual

Sistem perpetual menyajikan informasi mengenai persediaan dan HPP setiap saat tanpa melakukan perhitungan fisik (stock opname).

  Dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, sistem pencatatan persediaan tidak diatur secara jelas. Selama sistem dapat menunjukan kebenaran pencatatan maka ketentuan perpajakan dapat menerimanya.

 Metode persediaan yang digunakan dalam akuntansi perpajakan adalah metode FIFO dan metode rata-rata, sedangkan metode LIFO tidak diperbolehkan menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2015.

1. Metode Masuk-Pertama Dan Keluar-Pertama (FIFO)

    Metode masuk-pertama dan keluar-pertama (First in First out-FIFO) ini berasumsi bahwa persediaan yang pertama kali dijual adalah persediaan yang pertama kali dibeli. Dengan demikian, hanya ada persediaan yang dibebankan sebagai HPP berasal dari persediaanyang dibeli pertama kali.


2. Metode Rata-Rata (Average-Cost)

    Dalam metode ini, HPP ditentukan dari biaya rata-rata per unit untuk masing-masing persediaan setiap kali pembelian dilakukan. Menurut Pasal 10 ayat (6) UU PPh, penilaian pemakaian persediaan untuk menghitung HPP menurut pajak hanya boleh dilakukan dengan menggunakan metode FIFO dan metode Average. Pemilihan metode tersebut harus dilakukan secara taat asas. WP tidak diperkanankan menggunakan metode penilaian mana yang lebih rendah antara harga perolehan dengan harga pasar.

B. Contoh Perhitungan Harga Pokok Penjualan

Perusahaan pada awal tahun 2011 mempunyai persediaan awal bahan baku sebanyak 1000 unit dengan harga satuan Rp.1.000. selama tahun 2011 perusahaan membeli baban baku sebagai berikut. 50.000 unit, 75.000 unit, 100.000 unit dan 125.000 unit dengan harga per unit adalah sebesar Rp900, Rp1.000,Rp1.100 dan Rp1.200. Selama tahun 2011 perusahaan mengeluarkan bahan baku untuk produksinya sebagai berikut. 45.000 unit, 70.000 unit, 100.000 unit dan 30.000 unit.

  Besarnya bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi dan besarnya persediaan bahan baku akhir yang akan dicatat oleh perusahaan adalah sebagai berikut.

a. Perhitungan Menggunakan Metode FIFO

Persediaan akhir (unit) = Persediaan Awal + Pembelian – Produksi = 1.000 + (50.000 + 75.000 + 100.000 + 125.000)

- (45.000 + 70.000 + 100.000 + 30.000)

= 16.000 unit

Persediaan akhir (Rp) = 16.000 unit x Rp 1.200 = Rp. 19.200.000

Persediaan Awal = 1.000 unit x Rp 1.000 = Rp. 1.000.000

Pembelian = 50.000 unit x Rp 900 = Rp. 45.000.000

       75.000 unit x Rp. 1.000 = Rp. 75.000.000

100.000 unit x Rp. 1.100 = Rp. 110.000.000 125.000 unit x Rp. 1.200 = Rp. 150.000.000

          = Rp. 380.000.000

Harga Pokok Produksi = Persediaan awal + pembelian – persediaan akhir = Rp. 1.000.000+Rp. 380.000.000–Rp. 19.200.000

    = Rp. 361.800.000

b. Perhitungan Menggunakan Metode Average

Persediaan awal = 1.000 unit x Rp. 1.000 = Rp 1.000.000

Pembelian = 50.000 unit x Rp 900 = Rp 45.000.000 75.000 unit x Rp. 1.000 = Rp 75.000.000

      100.000 unit x Rp. 1.100 = Rp110.000.000

      125.000 unit x Rp. 1.200 = Rp150.000.000

      351.000 unit = Rp381.000.000

Harga per unit =Rp381.000.000/351.000 unit = Rp1.085 per unit

Persediaan akhir (Rp) = 16.000 unit x Rp1.085 = Rp17.360.000

Harga Pokok Produksi = (45.000+70.000+100.000+30.000) x Rp1.085 = 245.000 unit x Rp1.085 = Rp265.825.000


C. Kesimpulan

Dalam akuntansi perpajakan, penilaian dan pencatatan persediaan memengaruhi perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP). Metode persediaan yang diperbolehkan menurut Direktorat Jenderal Pajak dan Pasal 10 ayat (6) UU PPh adalah metode FIFO dan metode rata-rata. Metode LIFO tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kepatuhan perpajakan. Pemilihan metode harus dilakukan secara konsisten (taat asas) agar pencatatan HPP mencerminkan kondisi sebenarnya dan dapat diterima dalam pelaporan pajak.


Sumber:

Agoes, Sukrisno, Trisnawati, Estralita. 2013. Akuntansi Perpajakan Edisi 3. Jakarta. Salemba Empat.


Share:

Kamis, 08 Mei 2025

BANK SOAL UTP GENAP LAB AKUNTANSI

Hallo Balance People gimana nih kabarnya? semoga tetap sehat selalu dan bahagia yaa


Ada kabar baik nih, bagi balance people yang ingin belajar kembali soal-soal UTP Genap 2025,


balance people bisa download Disini

Share:

Senin, 14 April 2025

BALANCE FACT_ BEBAN OPERASIONAL DALAM AKUNTANSI PERPAJAKAN



BEBAN OPERASIONAL DALAM AKUNTANSI PERPAJAKAN


A. Beban yang Boleh Dikurangkan

   Dalam akuntansi komersial, semua biaya termasuk kerugian (losses) dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan neto (net income). Untuk tujuan perpajakan, tidak semua biaya dapat dibuktikan/dikeluarkan dalam usaha memperoleh penghasilan, ketentuan perpajakan mengakuinya sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan. 

  Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, beban yang dapat dikurangkan (deductible expenses) adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk berikut ini. 

a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, royalti dan sewa; biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan PMK-02/PMK.03/2010; biaya administrasi; dan pajak kecuali PPh. Biaya harus valid, reliable dan wajar.

Dengan demikian, semua pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain PPh, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai (BM), dapat dibebankan sebagai biaya. 

b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, sepanjang harta yang disusutkan/diamortisasi tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 

d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

e. Kerugian selisih kurs mata uang asing Untuk tahun 2008 dan sebelumnya, apabila WP membukukan transaksi dengan kurs tetap (kurs historis) atau kurs yang benar-benar terjadi sesuai kurs yang diakui oleh bank yang berkaitan atas realisasi perkiraan mata uang asing yang bersangkutan, maka selisih kurs diakui pada saat terjadinya realisasi pembayaran. Sedangkan, apabila WP membukukan transaksi dengan kurs tengah BI atau kurs yang benar-benar berlaku pada akhir periode menurut Bank Indonesia, maka selisih kurs diakui pada akhir tahun.

Mulai tahun 2009, penggunaan kurs tetap sudah tidak diperkenankan, sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 huruf l UU PPh. Dalam penjelasan pasal tersebut, mengungkapkan bahwa system penilaian yang sesuai dengan SAK dalam pengakuan keuntungan selisih kurs sehingga tidak aka nada lagi perbedaan antara akuntansi dan fiscal.

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan. Biaya tersebut dikeluarkan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan (PMK-246/PMK.03/2008 jo. PMK-154/PMK.03/2009).

h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:

  1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
  2. WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Dirjen Pajak;
  3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang Negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah uang tertentu; dan
  4. Syarat pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil.

  Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK-105/PMK.03/2009 jo. PMK-57/PMK.03/2010.

i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan PP 93 Tahun 2010.

j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan PP93 Tahun 2010.

k. Biaya pembangunan infrastruktur social yang ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010

l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010.

m. Sumbangan dalam rangka pembianaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010.

  

 Penghasilan bruto selain dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (ayat 1), juga boleh dikurangi dengan kerugian perusahaan yang dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun (ayat 2). Sedangkan untuk WP orang pribadi dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) (ayat 3).

  Selain itu, beban-beban berikut ini juga merupakan beban yang dapat dikurangkan (deductible expenses) yaitu:

1) Pembentukan dana cadangan

Sesuai PMK-81/PMK.03/2009, diatur bahwa besarnya dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai beban untuk:

  • Usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, SGU dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang,
  • Usaha asuransi,
  • Lembaga Penjamin Simpanan,
  • Biaya reklamasi usaha pertambangan,
  • Biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan,
  • Biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri.

2) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, seperti penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan PMK-83/PMK.03/2009 adalah sebagai berikut:



3) Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan yang antara pemberi dan penerimanya memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan seperti terlihat pada table berikut ini.

4) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat (zakat yang diterima oleh badan amil atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah) dan sumbangan keagamaan (sumbangan keagamaan yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk oleh Pemerintah) yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dikecualikan sebagai objek PPh sepanjang tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak yang bersangkutan; sesuai dengan PP 18 Tahun 2009 tanggal 9 Februari 2009. Bantuan atau sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan.
5) Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya. Pembebanan sebagai biaya perusahaan hanya sebesar 50% dalam tahun pajak yang bersangkutan melalui penyusutan asset tetap kelompok 1 dan atas beban berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler tersebut dapat dibebankan sebagai beban rutin perusahaan. (KEP-220/PJ./2002 jo. SE-09/PJ.42/2002).
6) Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sedan atau sejenis, termasuk juga pengeluaran rutin untuk pembelian atau pemakaian bahan bakar, yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya. Pembebanan sebagai biaya perusahaan hanya sebesar 50% dalam tahun pajak yang bersangkutan melalui penyusunan asset tetap kelompok 2 dan atas beban pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan sebagai beban rutin perusahaan. (KEP-220/PJ./2002 jo. SE-09/PJ.42/2002)
7) Bunga pinjaman dapat dibebankan sebagian apabila rata-rata tertimbang pinjaman per bulan > rata-rata tertimbang deposito atau tabungan per bulan. Besarnya bunga pinjaman yang dapat dibebankan tersebut adalah sebesar jumlah bunga yang terutang atas rata-rata jumlah pinjaman yang melebihi rata-rata jumlah deposito/tabungan (SE-46/PJ.4/1995 berlaku 5 Oktober 1995). Bunga pinjaman yang dapat di bebankan:

8) Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) UU PPN sepanjang dapat dibuktikan bahwa pajak masukan tersebut telah benar-benar dibayar dan berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan memelihara. 

B. Beban yang Tidak Dipebolehkan Pajak 

Berbeda dengan akuntansi komersial, untuk tujuan perhitungan PhKP tidak semua biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 9 ayat (1) UU PPh menyebutkan jenis-jenis biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebagai berikut:
a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Dividen dengan segala bentukknya, pada prinsipnya merupakan bagian laba dari perusahaan tersebut yang akan dikenakan PPh sehingga bukan merupakan biaya untuk mendapatkan PhKP. Demikian juga dengan sisa hasil usaha pada koperasi, yang pada dasarnya merupakan bagian atas kelebihan dari pendapatan dikurangi biaya, yang merupakan objek PPh sehingga bukan merupakan biaya untuk mendapatkan PhKP. Begitu pula dengan pengeluaran untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, dan anggota dipersamakan, dengan pembagian laba dan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan badan. Pengembalian sebagian premi oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis yang biasa disebut dengan dividen juga disamakan dengan dividen saham dan tidak dapat dikurangkan sebagai penghasilan kena pajak perusahaan asuransi.
b) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota. Hal ini seperti perbaikan rumah pribadi, perjalanan pribadi, premi asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau anggota keluarganya.
c) Pembentukkan atau pemupukan dana cadangan (PMK-81/PMK.03/2009), Kecuali:
  • Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, SGU dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
  • Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
  • Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
  • Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
  • Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
  • Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri. Berbeda dengan akuntansi komersial yang menganut prinsip konservatif, dalam perpajakan prinsipnya adalah pendekatan realisme. Hanya kerugian yang betul terjadi yang dapat diakui sebagi pengurangan penghasilan.
d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh WP orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP bersangkutan (wajib dipotong PPh Pasal 21). 
Premi asuransi jiwa dianggap merupakan pemakaian penghasilan wajib pajak, oleh karena itu premi tersebut bukan merupakan beban penghasilan.
e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan, kecuali penyediaaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan PMK-83/PMK.03/2009.
f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
Contoh:
g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh, kecuali sumbangan dalam pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah berdasarkan ketentuannya diatur dalam PP 18 Tahun 2009.
h) Pajak Penghasilan.
PPh tidak boleh dikurangkan sebagai biaya karena bukan merupakan biaya untuk memperoleh atau menagih penghasilan.
i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang menjadi tanggungannya.
j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikkan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangan-undangan di bidang perpajakan.
  1. Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pasl 9 ayat (8) UU PPN barang dan/atau jasa dan PPnBM sepanjang dapat dibuktikan benar telah dibayar.
  2. Pajak masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dalam menentukan besarnya PhKP sebagaimana pasal 9 ayat (1) UU PPh sesuai dengan PP 94 Tahun 2010.
  3. Kerugian dari pengalihan harta atau utang yang tidak memiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha/kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara objek pajak (PP 94 Tahun 2010).
  4. Dalam hal pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan nbagi perusahaan.
  5. Biaya entertainment, representasi, jamuan tamu dan sejenisnya, sepanjang tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha WP atau yang tidak dibuatkan daftar nominatif untuk dilampirkan pada SPT Tahunan PPh
  6. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak,atau yang penghasilannya dikenakan PPh bersifat final, atau pengenaan pajaknya berdasarkan Norma Penghitungan Pengahsilan Neto dan Norma Penghitungan Khusus sesuai dengan PP 94 Tahun 2010.
  7. Biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya, seperti biaya tanpa didukung bukti/dokumen.
  8. PPh yang ditanggung pemberi penghasilan (PP 94 Tahun 2010)
  9. Bunga pinjaman seluruhnya tidak dapat dibebankan, apabila rata-rata tertimbang bunga pinjaman per bulan ≤ rata-rata tertimbang deposito/tabungan per bulan. (SE-46/PJ.4/1995)
C. Kesimpulam
  Beban operasional terbagi menjadi dua kategori yaitu biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan dan biaya yang tidak dapat menjadi pengurang penghasilan. Jika terdapat perbedaan antara pencatatan akuntansi dan pajak (fiskal) maka perlu dilakukan koreksi fiskal. Koreksi fiskal terbagi menjadi dua, yaitu koreksi fiskal positif, artinya yang menambah pengahsilan, dan koreksi fiskal negatif yang mengurangi penghasilan.
Sumber:
Agoes, Sukrisno, Trisnawati, Estralita. 2013. Akuntansi Perpajakan Edisi 3. Jakarta. Salemba Empat.




Share:

Jumat, 14 Maret 2025

BALANCE FACT: JURNAL PENYESUAIAN



A. Konsep Dasar Jurnal Penyesuaian

 Jurnal penyesuaian merupakan pencatatan akuntansi yang dibuat untuk mengkoreksi saldo rekening-rekening hingga mencerminkan kondisi sebenarnya pada akhir periode pelaporan. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa setiap transaksi diakui pada periode yang tepat, sehingga laporan keuangan menyajikan informasi yang akurat tentang aset, kewajiban, pendapatan, beban, dan ekuitas perusahaan.

  Dalam siklus akuntansi, jurnal penyesuaian dibuat sebelum penyusunan laporan keuangan dan setelah menyusun neraca saldo. Hasil pencatatan jurnal penyesuaian kemudian diposting ke buku besar, sehingga saldo-saldo akun mencerminkan nilai yang telah disesuaikan.

B. Situasi yang Memerlukan Jurnal Penyesuaian

Terdapat dua kategori utama situasi yang membutuhkan jurnal penyesuaian:

1. Transaksi telah terjadi tetapi belum dicatat dalam rekening

a. Beban yang masih harus dibayar

 Saat terdapat beban yang telah terjadi namun belum dibayar pada akhir periode, perusahaan perlu mengakui kewajiban tersebut. Beban ini harus dibebankan pada periode berjalan meskipun pembayarannya dilakukan pada periode berikutnya.

Format jurnal:

Beban….      xxx

        Utang….     xxx

Contoh:

Perusahaan meminjam uang Rp50.000.000,00 pada 1 Desember 2024 dengan bunga 12% per tahun. Pada 31 Desember 2024, jurnal penyesuaian untuk mencatat bunga bulan Desember:

Beban Bunga        Rp 500.000,00

         Utang Bunga               Rp 500.000,00

(1/12 × 12% × Rp 50.000.000,00 = Rp 500.000,00)


b. Pendapatan yang masih harus diterima

  Ini terjadi ketika perusahaan telah memberikan jasa atau menjual produk, tetapi belum menerima pembayarannya. Pendapatan tersebut harus diakui pada periode berjalan meskipun kasnya baru diterima pada periode berikutnya.

Format jurnal:

Piutang….    xxx

         Pendapatan…..   xxx

Contoh:

Pada 31 Desember 2024, terdapat pendapatan bunga sebesar Rp 2.500.000,00 yang belum diterima.

Piutang Bunga.      Rp 2.500.000,00

           Pendapatan Bunga           Rp 2.500.000,00


2. Transaksi sudah dicatat, tetapi perlu penyesuaian pada akhir periode.

a. Beban dibayar di muka

   Beban dibayar di muka adalah beban-beban yang sudah dibayar tetapi belum dibebankan/ diakui sebagai beban pada periode pelaporan berjalan. Timbulnya beban dibayar di muka disebabkan perusahaan membayar sekaligus beban-beban untuk beberapa periode pelaporan berikutnya. Beban yang telah dibayar sekaligus tersebut merupakan beban periode pelaporan sekarang dan sebagian lagi periode pelaporan selanjutnya.

Ada dua pendekatan pencatatan:

1) Pendekatan Neraca (dicatat sebagai aset)

Saat pembayaran:

Sewa Dibayar Dimuka   xxx

                      Kas                           xxx

      Jurnal penyesuaian:

Beban Sewa             xxx

         Sewa Dibayar Dimuka    xxx

Contoh:

Pada tanggal 1 Agustus 2024 PT Jaya Abadi membayar sewa untuk jangka waktu 1 tahun sebesar Rp 1.200.000,00. Pada waktu pembayaran dicatat sebagai aset. Jurnal yang dibuat pada tanggal 1 Agustus 2014 sebagai berikut:

Saat pembayaran:

Sewa Dibayar Dimuka         Rp 1.200.000,00

                  Kas                                             Rp 1.200.000,00

Pada tanggal 31 Desember 2024 dibuat pencatatan jurnal penyesuaian karena dari sewa dibayar di muka sebesar Rp 1.200.000,00 sebagian ada yang diakui sebagai beban untuk periode pelaporan 2024. Sewa dibayar di muka dikurangi/dikredit selama 5 bulan (1 Agustus 2024 sampai dengan 31 Desember 2024) dan pengurangan tersebut didebet pada rekening beban sewa karena manfaatnya sewa sudah dinikmati.

Perhitungan:

• Tanggal 1 Agustus 2024 dibayar sewa dan dicatat sewa dibayar di muka untuk 12 bulan sampai dengan 1 Agustus 2025.

• Tanggal 31 Desember 2024 dibuat laporan keuangan dan pada saat itu sewa dibayar di muka dari 1 Agustus 2024 sampai dengan 31 Desember 2024 disajikan sebagai beban sewa di laporan laba rugi. Sewa dibayar di muka dari 1 Januari 2025 sampai dengan 1 Agustus 2025 akan tetap dilaporkan/disajikan sebagai sewa dibayar di muka di neraca.

Jurnal Penyesuaian:

Beban Sewa       Rp 500.000,00

          Sewa Dibayar Dimuka      Rp 500.000,00

(5/12 × Rp 1.200.000,00 = Rp 500.000,00)

2) Pendekatan Laba-Rugi (dicatat sebagai beban)

Saat pembayaran:

Beban Sewa         xxx

             Kas                        xxx

Jurnal penyesuaian:

Sewa Dibayar Dimuka          xxx

                   Beban Sewa                         xxx

Contoh:

Pada kasus PT Jaya Abadi di atas, misalnya pada saat pengeluaran kas dicatat sebagai beban, maka jurnal yang dibuat pada tanggal 1 Agustus 2024 sebagai berikut: 

Saat pembayaran:

Beban Sewa             Rp 1.200.000,00

              Kas                                Rp 1.200.000,00

Pada tanggal 31 Desember 2024 membuat jurnal penyesuaian karena beban sewa yang dibayar Rp 1.200.000,00 sebagian ada yang menjadi beban periode pelaporan 2024 dan beban periode pelaporan 2025. Beban sewa di laporan laba rugi pelaporan 2024 disajikan sebesar beban sewa yang diakui dan dibebankan pada pelaporan 2024 yaitu Rp 500.000,00. Oleh sebab itu, beban sewa yang dibayar Rp 1.200.000,00 tersebut dikurangi/ dikredit 7 bulan (yaitu 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Juli 2025) atau senilai Rp 700.000,00 karena tidak menjadi beban sewa periode pelaporan 2024 dan disajikan di neraca sebagai sewa dibayar di muka pelaporan 2024.

Perhitungan:

• Tanggal 1 Agustus 2024 dibayar beban sewa dan dicatat Beban sewa untuk 12 bulan sampai dengan 1 Agustus 2025.

• Tanggal 31 Desember 2024 dibuat laporan keuangan dan beban sewa dari 1 Agustus 2024 s/d 31 Desember 2024 disajikan sebagai beban sewa dan beban sewa dari 1 Januari 2025 s/d 1 Agustus 2025 dilaporkan/ disajikan sebagai sewa dibayar di muka.

Jurnal penyesuaian:

Sewa Dibayar Dimuka              Rp 700.000,00

             Beban Sewa                                   Rp 700.000,00

(7/12 × Rp 1.200.000,00 = Rp 700.000,00)

Pendapatan diterima di muka

Pendapatan diterima di muka terjadi ketika perusahaan telah menerima pembayaran untuk jasa yang belum sepenuhnya diberikan. Ini juga memiliki dua pendekatan pencatatan:

1) Pendekatan Neraca (dicatat sebagai kewajiban)

Saat penerimaan:

Kas                                          xxx

     Sewa Diterima Dimuka             xxx

Jurnal penyesuaian:

Sewa Diterima Dimuka                   xxx

                  Pendapatan Sewa                      xxx

Contoh:

Pada tanggal 1 Agustus 2024 PT Jaya Abadi menerima pendapatan sewa untuk jangka waktu 1 tahun sebesar Rp 1.200.000,00 pada waktu pembayaran dicatat sebagai kewajiban. Jurnal yang dibuat 1 Agustus 2024 adalah sebagai berikut:

Saat penerimaan:

Kas                      Rp 1.200.000,00

    Sewa Diterima Dimuka             Rp 1.200.000,00

Pada tanggal 31 Desember 2024 membuat jurnal penyesuaian karena sewa diterima di muka sebesar Rp 1.200.000,00 sebagian ada yang menjadi pendapatan untuk periode pelaporan 2024. Sewa diterima di muka harus dikurangi/dideber selama 5 bulan (1 Agustus 2024 s/d 31 Desember 2025) karena perusahaan telah memberikan jasa pada periode tersebut.

Jurnal penyesuaian:

Sewa Diterima Dimuka           Rp 500.000,00

     Pendapatan Sewa                             Rp 500.000,00

(5/12 × Rp 1.200.000,00 = Rp 500.000,00)

2) Pendekatan Laba-Rugi (dicatat sebagai pendapatan)

Saat penerimaan:

Kas                                xxx

    Pendapatan Sewa                 xxx

Jurnal penyesuaian:

Pendapatan Sewa                  xxx

       Sewa Diterima Dimuka                           xxx

Contoh:

Pada kasus PT Jaya Abadi di atas, misalnya pada saat pengeluaran kas dicatat sebagai pendapatan, maka jurnal yang dibuat pada tanggal 1 Agustus 2024 adalah sebagai berikut:

Saat penerimaan:

Kas                               Rp 1.200.000,00

     Pendapatan Sewa                           Rp 1.200.000,00

Pada tanggal 31 Desember 2024 dibuat jurnal penyesuaian karena dan pendapatan sewa yang diterima Rp 1.200.000,00 sebagian ada yang menjadi pendapatan untuk periode pelaporan 2024 dan pendapatan pelaporan 2025. Pendapatan sewa pada laporan laba rugi disajikan sebesar jasa yang telah diberikan. Pendapatan sewa 5 bulan (yaitu 1 Agustus sampai dengan 31 Desember 2024). Pendapatan sewa selama 7 bulan (1 Januari 2025 sampai dengan s/d 31 Juli 2025) tidak dilaporkan sebagai pendapatan sewa pelaporan 2024 karena pendapatan itu merupakan pendapatan periode pelaporan 2025, sehingga harus dilaporkan di neraca sebagai kelompok kewajiban dengan akun Pendapatan Diterima Di muka. Jurnal penyesuaiannya adalah sebagai berikut:

Pendapatan Sewa               Rp 700.000,00

    Sewa Diterima Dimuka                      Rp 700.000,00

(7/12 × Rp 1.200.000,00 = Rp 700.000,00)


c. Penyusutan aset tetap

 Aset tetap yang digunakan dalam operasional perusahaan mengalami penurunan nilai seiring waktu. Maka itu, penyusutan aset harus dicatat untuk mencerminkan penurunan nilai tersebut. Pada saat dilakukan jurnal penyesuaian maka terjadilah alokasi dari cost menjadi expense. Beban depresiasi penyusutan adalah alokasi harga perolehan aktiva tetap berwujud yang dibebankan pada suatu periode tertentu. Beban penyusutan yang dibebankan dihitung dengan cara taksiran, karena jumlahnya tergantung dari tiga faktor, yaitu harga perolehan (cost), taksiran umur ekonomis/masa manfaat, dan taksiran nilai residu/sisa. Jurnal penyesuaian untuk mencatat beban penyusutan adalah sebagai berikut:

Format jurnal:

Beban Penyusutan Aset Tetap                xxx

    Akumulasi Penyusutan Aset Tetap                xxx  

Contoh:

Suatu asumsi harga perolehan kendaraan adalah Rp 10.500.000,00. Nilai sisa diestimasikan Rp 5.000.000,00 dan ditaksir umur ekonomisnya 10 tahun. Metode penyusutan yang digunakan adalah garis lurus. Maka perhitungan dan jurnal yang dibuat atas penyusutan kendaraan tersebut sebagai berikut:

Garis lurus dihitung dengan rumus = [Harga perolehan - Nilai sisa] / Umur ekonomis

        = [Rp 10.500.000,00 – Rp 500.000,00] / 10 

        = Rp 1.000.000,00

 Jurnal penyesuaian:

Beban Penyusutan Kendaraan       Rp 1.000.000,00

    Akumulasi Penyusutan Kendaraan Rp 1.000.000,00


d.   Pemakaian perlengkapan

  Perlengkapan yang dibeli sering tidak habis terpakai dalam satu periode. Pada akhir periode, perlu dilakukan perhitungan nilai perlengkapan yang masih tersisa.

Ada dua pendekatan pencatatan:

1) Pendekatan Neraca (dicatat sebagai aset)

Saat pembelian:

Perlengkapan Kantor        xxx

              Kas                                         xxx

Jurnal penyesuaian:

Beban Perlengkapan Kantor           xxx 

            Perlengkapan Kantor                        xxx

Contoh:

Diasumsikan jumlah pembelian perlengkapan kantor pada bulan Agustus 2025 sebesar Rp 5.000.000,00 dan pada akhir periode perlengkapan yang tidak terpakai Rp 2.000.000,00. Pada saat pengeluaran kas dicatat sebagai aset/perlengkapan.

Saat pembelian:

Perlengkapan Kantor               Rp 5.000.000,00

                 Kas                                             Rp 5.000.000,00

Pada akhir periode, perlengkapan tersisa senilai Rp 2.000.000,00. Hal ini mengindikasikan ada pemakaian perlengkapan senilai Rp 3.000.000,00. Akun perlengkapan harus dikurangi dengan pemakaiannya, atau perlengkapan yang sudah terpakai harus dikeluarkan dari akun perlengkapan. Perlengkapan yang terpakai akan disajikan pada periode pelaporan berjalan (laporan laba-rugi) sebagai beban perlengkapan, sedangkan yang belum terpakai disajikan sebagai perlengkapan (neraca). Pada akhir periode jurnal penyesuaian yang dibuat adalah sebagai berikut:

Beban Perlengkapan Kantor Rp 3.000.000,00

    Perlengkapan Kantor Rp 3.000.000,00

2) Pendekatan Laba-Rugi (dicatat sebagai beban)

Saat pembelian:

Beban Perlengkapan Kantor         xxx

                      Kas                                           xxx

Jurnal penyesuaian:

Perlengkapan Kantor                      xxx

    Beban Perlengkapan Kantor                xxx

Contoh:

Diasumsikan jumlah pembelian perlengkapan kantor pada bulan Agustus 2025 sebesar Rp 5.000.000,00 dan pada akhir periode diketahui perlengkapan yang tidak terpakai Rp 2.000.000,00. Pada saat pengeluaran kas dicatat sebagai beban, maka jurnal yang dibuat pada tanggal 1 Agustus 2025 sebagai berikut:

Saat pembelian:

Beban Perlengkapan Kantor    Rp 5.000.000,00

                           Kas                                   Rp 5.000.000,00

Pada akhir periode, perlengkapan tersisa senilai Rp 2.000.000,00. Hal ini mengindikasikan ada pemakaian perlengkapan senilai Rp 3.000.000,00. Akun beban perlengkapan harus dikurangi dengan yang belum terpakai, atau perlengkapan yang belum terpakai harus dikeluarkan dari akun beban perlengkapan. Perlengkapan yang belum terpakai akan disajikan dilaporan neraca sebagai perlengkapan, sedangkan yang terpakai disajikan sebagai beban perlengkapan. Pada akhir periode jurnal penyesuaian yang dibuat adalah sebagai berikut:

Perlengkapan Kantor            Rp 2.000.000,00

    Beban Perlengkapan Kantor             Rp 2.000.000,00

Akibat dari pencatatan jurnal penyesuaian di atas, maka akun perlengkapan yang disajikan di laporan keuangan neraca sebesar Rp 2.000.000,00 sedangkan akun beban perlengkapan di laporan keuangan laba rugi sebesar Rp 3.000.000,00.


C. Kesimpulan

Jurnal penyesuaian merupakan komponen penting dalam siklus akuntansi untuk memastikan bahwa laporan keuangan menyajikan informasi yang akurat dan sesuai dengan prinsip akuntansi. Dengan melakukan penyesuaian yang tepat, perusahaan dapat memisahkan dengan jelas pendapatan dan beban antara satu periode dengan periode lainnya, sehingga laporan keuangan mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.


Sumber :

Bahri, S. (2016). PENGANTAR AKUNTANSI. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET.


Share:

INFO LAIN

Blog's

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Blogger templates